Sutinah, Hidup dari Sayur Buangan
SEJUMPUT bawang merah, bawang putih, cabai, jeruk pecel, serpihan daun sawi, dan beberapa butir tomat teronggok di atas ubin lantai kompleks pertokoan Kanjengan Semarang. Seperti halnya sayur-mayur itu, Sutinah (59) sang penjual pun bersimpuh di atas ubin yang sama, tanpa selembar alas pun. Kepada setiap orang yang lewat di depannya, dia senantiasa menawarkan dengan sapaan ramah. "Brambang, bawang, tomat, Bu..."
Sepintas lalu, orang akan menganggap wajar, seorang perempuan berjualan sayur di tempat itu. Sebab, kawasan tersebut memang merupakan pusat jual-beli sayuran di Kota Semarang. Lantas apa istimewanya dengan dagangan Sutinah?
Lazimnya pedagang sayuran, mendapatkan barang dagangannya dari kulakan, tidak demikian dengan Sutinah. Bawang merah, bawang putih, cabai, dan serpihan daun sawi itu dia dapatkan dari hasil memungut di tempat sampah. Ya, sekali lagi tempat sampah!
Para pedagang maupun orang-orang yang setiap hari beraktivitas di kawasan itu, sudah mahfum. Mereka mengenal Sutinah, yang biasa dipanggil Mbak Tik itu sebagai pemungut sayur dan buah-buahan di tempat sampah sebelah Gedung Parkir Pungkuran kompleks Pasar Johar.
Telaten
Sehari-hari dengan telaten, perempuan berkulit legam itu memilih dan memilah sayur dan buah-buahan buangan para pedagang Pasar Johar yang dia anggap masih bisa dikonsumsi. Hasil pungutan itu kemudian dia jajakan kepada para pengunjung pasar.
Sepanjang hampir 38 tahun, Sutinah menjalani pekerjaan itu. Saat itu, masa setelah G 30 S/PKI, perempuan asal Desa Keji, Muntilan tersebut datang ke Kota Semarang. Tanpa gambaran jelas mengenai kondisi Ibu Kota Jawa Tengah itu, dia terdampar di Pasar Johar.
Demi bertahan hidup, Sutinah melakoni pekerjaan apa saja, termasuk menjadi pemungut sayuran buangan di tempat sampah.
"Dari dulu saya gosek di tempat sampah itu. Tempatnya ya tetap di situ itu, kalau di sini (Pasar Johar Atas) masih ada alun-alunnya," kata dia.
Kecilnya penghasilan, memaksa dia harus tinggal di sebuah gubuk di bantaran Kali Semarang, tepatnya di sebelah utara Jembatan Berok. Bahkan, manakala hujan mengguyur, Sutinah mengaku acap berteduh di bawah jembatan itu. "Hidup saya nelongso seperti gelandangan," ujarnya lirih.
Suatu ketika, Pemerintah Kota melakukan razia terhadap gubuk liar. Semua penghuni gubuk di bantaran Kali Semarang digaruk, termasuk Sutinah. Bersama puluhan gelandangan lainnya, dia pernah tinggal di tempat penampungan sementara di Kampung Barutikung. Hanya beberapa bulan tinggal, mereka akhirnya diberi lahan permukiman di Kampung Tandang.
"Waktu itu belum banyak angkutan. Dari Tandang ke sini (Pasar Johar) untuk gosek, saya hanya berjalan kaki. Kalau sekarang ya naik angkutan Daihatsu."
Dalam menjual hasil pungutan, Sutinah tidak mematok harga berdasarkan timbangan. Sekepal bawang merah misalnya, dihargai Rp 1.500, sedangkan cabai Rp 3.000. Para pembelinya, selain para pengunjung pasar, sebagian sudah menjadi langganan. Dari jerih payahnya itu, setiap hari Sutinah hanya memperoleh pendapatan antara Rp 3.000-Rp 5.000. Uang itu tentu saja tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup dia dan dua anaknya; Arifin dan Toni. Untuk itu, Sutinah berusaha mendapatkan uang tambahan dari menjual jasa pijat kepada para pedagang Pasar Johar. Selain itu, setiap Jumat dia harus mengemis ke kampung-kampung di sekitar Pasar Johar.
"Saya tidak pernah ngarani ongkos pijet, terserah mereka mau ngasih berapa. Ada yang ngasih Rp 3.000, ada juga yang Rp 5.000. Tapi itu tidak setiap hari ada yang minta dipijet. Kalau dari ngemis, saya bisa mendapat Rp 5.000 sampai 15.000," ujarnya.
Selain Sutinah, terdapat dua pemungut sayuran lain di tempat sampah Pungkuran. Mereka adalah Mak Amin, dan Mak Surip. Dalam sehari, mereka memungut sayuran dua kali, yakni siang setelah zuhur, dan sore selepas ashar.(Rukardi-45)
Sepintas lalu, orang akan menganggap wajar, seorang perempuan berjualan sayur di tempat itu. Sebab, kawasan tersebut memang merupakan pusat jual-beli sayuran di Kota Semarang. Lantas apa istimewanya dengan dagangan Sutinah?
Lazimnya pedagang sayuran, mendapatkan barang dagangannya dari kulakan, tidak demikian dengan Sutinah. Bawang merah, bawang putih, cabai, dan serpihan daun sawi itu dia dapatkan dari hasil memungut di tempat sampah. Ya, sekali lagi tempat sampah!
Para pedagang maupun orang-orang yang setiap hari beraktivitas di kawasan itu, sudah mahfum. Mereka mengenal Sutinah, yang biasa dipanggil Mbak Tik itu sebagai pemungut sayur dan buah-buahan di tempat sampah sebelah Gedung Parkir Pungkuran kompleks Pasar Johar.
Telaten
Sehari-hari dengan telaten, perempuan berkulit legam itu memilih dan memilah sayur dan buah-buahan buangan para pedagang Pasar Johar yang dia anggap masih bisa dikonsumsi. Hasil pungutan itu kemudian dia jajakan kepada para pengunjung pasar.
Sepanjang hampir 38 tahun, Sutinah menjalani pekerjaan itu. Saat itu, masa setelah G 30 S/PKI, perempuan asal Desa Keji, Muntilan tersebut datang ke Kota Semarang. Tanpa gambaran jelas mengenai kondisi Ibu Kota Jawa Tengah itu, dia terdampar di Pasar Johar.
Demi bertahan hidup, Sutinah melakoni pekerjaan apa saja, termasuk menjadi pemungut sayuran buangan di tempat sampah.
"Dari dulu saya gosek di tempat sampah itu. Tempatnya ya tetap di situ itu, kalau di sini (Pasar Johar Atas) masih ada alun-alunnya," kata dia.
Kecilnya penghasilan, memaksa dia harus tinggal di sebuah gubuk di bantaran Kali Semarang, tepatnya di sebelah utara Jembatan Berok. Bahkan, manakala hujan mengguyur, Sutinah mengaku acap berteduh di bawah jembatan itu. "Hidup saya nelongso seperti gelandangan," ujarnya lirih.
Suatu ketika, Pemerintah Kota melakukan razia terhadap gubuk liar. Semua penghuni gubuk di bantaran Kali Semarang digaruk, termasuk Sutinah. Bersama puluhan gelandangan lainnya, dia pernah tinggal di tempat penampungan sementara di Kampung Barutikung. Hanya beberapa bulan tinggal, mereka akhirnya diberi lahan permukiman di Kampung Tandang.
"Waktu itu belum banyak angkutan. Dari Tandang ke sini (Pasar Johar) untuk gosek, saya hanya berjalan kaki. Kalau sekarang ya naik angkutan Daihatsu."
Dalam menjual hasil pungutan, Sutinah tidak mematok harga berdasarkan timbangan. Sekepal bawang merah misalnya, dihargai Rp 1.500, sedangkan cabai Rp 3.000. Para pembelinya, selain para pengunjung pasar, sebagian sudah menjadi langganan. Dari jerih payahnya itu, setiap hari Sutinah hanya memperoleh pendapatan antara Rp 3.000-Rp 5.000. Uang itu tentu saja tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup dia dan dua anaknya; Arifin dan Toni. Untuk itu, Sutinah berusaha mendapatkan uang tambahan dari menjual jasa pijat kepada para pedagang Pasar Johar. Selain itu, setiap Jumat dia harus mengemis ke kampung-kampung di sekitar Pasar Johar.
"Saya tidak pernah ngarani ongkos pijet, terserah mereka mau ngasih berapa. Ada yang ngasih Rp 3.000, ada juga yang Rp 5.000. Tapi itu tidak setiap hari ada yang minta dipijet. Kalau dari ngemis, saya bisa mendapat Rp 5.000 sampai 15.000," ujarnya.
Selain Sutinah, terdapat dua pemungut sayuran lain di tempat sampah Pungkuran. Mereka adalah Mak Amin, dan Mak Surip. Dalam sehari, mereka memungut sayuran dua kali, yakni siang setelah zuhur, dan sore selepas ashar.(Rukardi-45)
"Berbahagialah mereka yang hidupnya berkecukupan, mereka yang tidak pernah merasakan getirnya hidup, mereka yang makan sehari 3 kali, mereka yang tidur beralaskan kasur empuk! Artikel diatas diambil dari koran Suara Merdeka edisi Senin, 07 Juni 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home