... it's a damn blog !! ...: <strong>Moncong Putih by Harry Roesli</strong>

5.4.04

Moncong Putih by Harry Roesli

Bezog Maskavili Broyvak, Medoravinian esbros melabrani kroabrazi miakila Bastania endroz dobros, glokumaniv briandi !

Anda mengerti maksud kalimat di atas? Kalau tidak, ini terjemahannya : "Sidang pembaca ! Sudah tahu kalimat ini tidak ada artinya, eh… masih dibaca juga!"

Nah, guyonan kuno di atas sebenarnya sedang terjadi secara faktual-saat ini-di negeri ini. Maksudnya? Lho, bukankah para jurkam saat ini sedang giat-giatnya mengoceh guyonan yang tidak dimengerti rakyat dan kuno sekali kalimat-kalimatnya?

Guyonan? Ya, guyonlah kalau kalimat antikorupsi dan anti-KKN diucapkan oleh seorang jurkam dari sebuah partai (di Jawa Barat) yang malahan kasus korupsinya si jurkam sedang diproses di kejaksaan setempat.

Kuno? Ya, kunolah kalau orasi si jurkam itu dibuat oleh dia sejak tahun 1999 tanpa perubahan titik maupun komanya. Dia cukup mengambil stok orasi kampanye tahun 1999 lalu dibacakan "letterijk". Makanya, tidak heran kalau dia melakukan sesuatu yang fatal, begini : "Saudara – saudara sekalian! Hari ini Selasa, tanggal sekian, tahun 1999, adalah hari bangkitnya partai kita … dan seterusnya …."

Padahal, hari jurkam tadi berkampanye adalah hari Rabu, tanggal segitu, tahun 2004. Tapi, anehnya, konstituennya tidak peduli akan kesalahan fatal tadi. Mereka semua asyik-asyik saja karena ternyata yang ditunggu bukan jurkam, tetapi jurdut, (maaf) bujur penyanyi dangdut (pantat penyanyi dangdut)

Kalau toh harus jujur, ada guyonan yang saya tulis di tahun 1999 di koran ini, di rubrik ini, dan rasanya masih relevan. Begini guyonannya!

Ada seorang jurkam sedang berorasi dengan semangat yang melimpah-ruah! Dia bilang: "Saudara-saudara! Kalau di kampung ini semua mencoblos gambar partai saya, akan saya bangun pabrik baja di kampung ini!"

Semua rakyat senang dan bertepuk tangan riuh-rendah bahkan riuh-tinggi!

"Kalau di kampung ini semua memilih saya sebagai anggota legislatif, akan saya bangun pabrik mobil di sini!"

Plok… plok… plok, tepuk tangan pun bergema lebih keras lagi dan ditimpali suit-suitan yang menambah ramai suasana.

"Nah, kalau Anda semua loyal kepada saya dan partai saya, maka segera akan saya bangun di sini sebuah pabrik tektil (maksudnya tekstil)!"

Ajudan jurkam kontan berbisik: "Pak, kurang ’s’nya!"

Si jurkam tanggap: "Oh ya … dan pabrik es!!"

BEGITULAH "kaset nostalgia" diputar ulang kembali, bahkan tanpa sentuhan baru sekalipun.

Seperti orasi dengan nada bangga dari seorang caleg yang kebetulan eks artis: "Saya ini sudah lima belas tahun jadi anggota DPRD! Jadi, saya sudah teruji, Anda tidak perlu ragu-ragu lagi untuk memilih saya!"

Goblok (maaf)!! Justru kita harus ragu-ragu untuk memilih dia kembali. Bahkan, kalau bisa dia jangan dipilih lagi. Wong dia sudah lima belas tahun jadi anggota legislatif, tapi rakyat tetap sengsara terus! Jadi, apa yang dia lakukan buat rakyat selama lima belas tahun ini? Apa kontribusi dia pada perubahan nasib rakyat selama lima belas tahun dia jadi wakil rakyat? Iya kan?

Memang tidak semua eks artis itu pandir, tapi yang ini kebetulan pandir yang overdosis! Saya berani tanggung kalau saja menjadi anggota DPRD itu tanpa gaji dan sepenuhnya pengabdian, si eks artis ini adalah orang nomer satu yang mengundurkan diri dari keanggotaan Dewan terhormat.

Kejadian di atas tadi menyebabkan kita harus mengubah pepatah "pandai pangkal kaya" dengan yang baru, yaitu "pandir pangkal kaya!"

Dan mohon pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari!" juga kalau bisa diubah. Kenapa? Kasihan guru laki-laki masa harus kencing jongkok!

Bicara soal pepatah, sekarang ini ada "pepatah" dari sebuah iklan politik, yaitu "coblos moncong putih!"

Iklan politik ini dahsyat sekali! Sukses meng-hammering otak pemirsa televisi sampai-sampai anak pembantu saya yang berumur tiga tahun saja setiap bangun tidur selalu berteriak-teriak: "Ojos ocong ucih … ojos ocong ucih!"

Hebat! Saya harus ucapkan selamat kepada tim kreatif dari biro iklan yang membuat iklan politik ini. Dibandingkan dengan iklan politik dari partai lain yang masih mencoba menjual soal kemiskinan, menjual soal isu ekonomi, menjual soal isu politisi busuk, bahkan menjual agama, iklan moncong putih ini terasa lebih efektif! Padahal, tanpa menjual ini-itu!

Atau mungkin pada partai moncong putih ini memang sudah tidak ada yang laik untuk bisa dijual lagi? Mungkin itu ya! Ah itu asumsi yang tidak benar, mohon maaf kalau begitu!

Baiklah! Saya hanya ingin menyarankan kepada partai politik lain! Percayalah kepada saya bahwa iklan politik "coblos moncong putih" ini sukses besar di masyarakat. Jadi, saran saya, kalau kebetulan lambang partai Anda ada gambar bantengnya, cepat-cepat ubah dengan memutihkan moncongnya. Atau kalau kebetulan lambang partai Anda tidak ada gambar bantengnya, segera gambari moncong putih di tengah-tengah lambang partai Anda, asal-asalan saja tidak perlu artistik.

Berani tanggung di lima April nanti gambar lambang ke dua puluh empat partai pasti semuanya bolong. Habis semuanya moncong putih! Dicobloslah semuanya, seperti perintah Ibu Mega di iklan televisi.

Pusing dong! Ya harus adil, masak yang pusing cuman KPU doang, rakyat juga harus pusing dong!

Emang sekarang kagak!? *

0 Comments:

Post a Comment

<< Home